
"Ketika tahun 1992 tawuran ramai,
kemudian ketika tahun 1996 banyak pembinaan di kerohanian Islam
dilakukan. Waktu itu dari Pemda DKI tawuran mereda, 2004-2006 pembinaan
selesai tawuran ramai lagi," papar Ketua Umum JPRMI, Otong Sumantri,
kepada media di Jakarta, Minggu (31/7/2011).
Otong mendapati kenyataan bahwa sebagian
besar pemuda yang terlibat tawuran di masa kecilnya pernah mengenyam
Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA).
Sayang di usia yang belum sepenuhnya
matang, kata Otong, pembinaan kerohanian Islam tersebut harus berakhir.
Padahal idealnya, pembinaan ini terus mengawal pribadi si anak sampai
dirinya cukup dewasa.
"Pembinaan ini tidak boleh terputus, sampai dia bisa menentukan arah hidupnya sendiri," tegasnya.
Jika tidak, terang Otong, pembinaan yang terputus di fase anak yang belum matang ini bisa berdampak menyerang balik si anak.
Setelah lulus, lanjutnya, si anak akan
sulit kembali ke TPA karena sudah dilabel lulus TPA. Hal ini diperparah
jika si anak tidak memiliki keluarga yang bisa jadi tempat yang nyaman
baginya.
Anak yang bingung kemana dia harus
menuju dan berlabuh pada lingkungan di sekitarnya, di mana ada pengaruh
komunitas teman sebaya yang cukup kuat di sana. Dari sanalah, anak
mungkin mulai belajar bagaimana 'turun ke jalan'.
"Itulah yang jadi guru mereka seterusnya," ujarnya.
JPRMI sendiri, kata Otong, tengah
berupaya melanjutkan kembali pembinaan kerohanian Islam di kalangan
pemuda. Di antaranya, dengan membuat Sekolah Berbasis Masjid (SBM).
"Itu kan sekolah pasca-TPA sampai usia SMA, sehingga yang seperti itu selesai," katanya.
Sekolah berbasis masjid ini, lanjutnya,
sudah dijalankan di beberapa lokasi di Jakarta, seperti di Sunda Kelapa
dan masjid Cinere Depok. Selain itu, Otong juga mengimbau warga
masyarakat agar menggiatkan kembali kegiatan remaja masjid di daerah,
utamanya yang rawan tawuran.
"Jika pembinaan tersebut berjalan, itu akan hilang sendiri. Kita akan optimalkan untuk jadi fasilitator," terangnya.
Adapted from: http://www.jprmi.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar